Oleh Arinindya Khadiva )*
Percepatan penanganan banjir di Aceh menjadi gambaran nyata kehadiran negara dalam menjawab kebutuhan masyarakat di tengah situasi darurat. Bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di provinsi tersebut tidak hanya menuntut respons cepat dari pemerintah, tetapi juga membutuhkan suasana yang aman dan kondusif. Negara terus menunjukkan komitmen kuat melalui distribusi bantuan logistik yang terukur sekaligus menjaga stabilitas sosial dari potensi provokasi yang dapat menghambat pemulihan. Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan keseriusan tersebut dengan memastikan distribusi logistik berjalan cepat, terukur, dan sesuai standar operasional prosedur. Langkah ini menegaskan bahwa negara hadir secara nyata, bekerja dalam senyap namun berdampak langsung bagi masyarakat yang sedang menghadapi situasi sulit.
BNPB memastikan seluruh bantuan yang masuk ke posko utama langsung bergerak menuju wilayah terdampak tanpa terjadi penumpukan. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyampaikan bahwa mekanisme distribusi logistik dilakukan dengan pengawasan ketat dan berbasis SOP yang jelas. Tidak ada bantuan yang tertahan lebih dari dua hari di posko, sehingga kebutuhan dasar masyarakat dapat segera terpenuhi. Tingginya laju distribusi, yang melampaui angka 80 persen, menjadi indikator bahwa sistem penanganan bencana berjalan efektif dan responsif terhadap kebutuhan di lapangan.
Kinerja Posko Nasional Halim sebagai pusat distribusi utama menunjukkan hasil yang signifikan. Dari posko ini, bantuan logistik disalurkan secara cepat ke berbagai daerah terdampak di Sumatera, termasuk Aceh. Selain itu, posko regional di Iskandar Muda, Aceh, juga mencatat capaian distribusi yang tinggi. Dari total 1.341 ton bantuan logistik yang masuk, sekitar 1.000 ton telah berhasil disalurkan ke masyarakat. Angka tersebut menggambarkan koordinasi lintas sektor yang solid antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan unsur terkait lainnya.
Percepatan penanganan banjir ini tidak hanya mencerminkan kemampuan teknis negara, tetapi juga komitmen moral untuk memastikan masyarakat terdampak tidak merasa sendirian. Bantuan logistik, layanan kesehatan, serta dukungan lainnya menjadi fondasi awal bagi masyarakat untuk bertahan dan mulai bangkit. Dalam konteks ini, kehadiran negara menjadi faktor penentu dalam menjaga kepercayaan publik serta memperkuat rasa kebersamaan di tengah krisis.
Namun, di balik upaya kemanusiaan yang tengah berjalan, muncul tantangan berupa potensi provokasi yang berupaya memanfaatkan situasi bencana. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menegaskan bahwa negara tidak akan mentolerir kelompok-kelompok yang melakukan tindakan provokatif, termasuk pengibaran atribut yang menyerupai simbol separatis di tengah proses penanganan banjir dan longsor di Aceh. Penegasan ini menjadi pesan kuat bahwa agenda kemanusiaan tidak boleh dicederai oleh kepentingan politik atau ideologi yang dapat mengganggu stabilitas.
Menurut Panglima TNI, seluruh kementerian dan lembaga, bersama TNI, Polri, dan masyarakat, saat ini sedang bekerja bersama untuk mempercepat pemulihan akibat bencana alam. Oleh karena itu, setiap upaya yang berpotensi mengganggu proses tersebut harus dihentikan dan ditindak tegas. Sikap ini penting untuk memastikan bahwa fokus semua pihak tetap tertuju pada keselamatan dan pemulihan masyarakat, bukan pada isu-isu yang dapat memecah belah persatuan.
Penolakan terhadap simbol-simbol separatis di lokasi bencana bukan sekadar persoalan keamanan, tetapi juga soal empati dan etika kemanusiaan. Di saat masyarakat sedang berduka dan berjuang memulihkan kehidupan, tindakan provokatif hanya akan menambah beban psikologis serta berpotensi menghambat distribusi bantuan. Untuk itu, peran negara dibutuhkan dalam menjaga agar ruang kemanusiaan tetap steril dari kepentingan yang dapat merusak kedamaian.
Anggota DPR RI TB Hasanuddin turut mengingatkan pentingnya menjaga kedamaian Aceh sebagai aset berharga yang telah dibangun melalui proses panjang. Ia menekankan bahwa pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus memprioritaskan agenda kemanusiaan, terutama pemulihan korban bencana. Kehadiran negara yang kuat dan konsisten dinilai sangat dibutuhkan agar masyarakat dapat bangkit dalam suasana yang kondusif dan penuh harapan.
TB Hasanuddin juga mengajak masyarakat untuk menahan diri dari berbagai bentuk provokasi yang dapat memperkeruh keadaan. Perdamaian Aceh bukanlah sesuatu yang datang dengan mudah, melainkan hasil dari komitmen bersama untuk hidup berdampingan secara damai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, menjaga stabilitas dan ketenangan di tengah bencana menjadi tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat.
Penanganan banjir Aceh yang dipercepat, serta ajakan untuk menolak simbol-simbol separatis di lokasi bencana, menunjukkan pendekatan yang komprehensif antara aspek kemanusiaan dan keamanan. Negara tidak hanya fokus pada penyaluran bantuan, tetapi juga memastikan bahwa proses pemulihan berlangsung dalam suasana damai dan tertib. Sinergi antara seluruh elemen masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi situasi darurat ini.
Konsistensi dalam percepatan penanganan bencana dan ketegasan dalam menjaga stabilitas harus terus dijaga. Bencana alam seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat solidaritas dan persatuan, bukan sebaliknya. Dengan menempatkan kemanusiaan sebagai prioritas utama serta menolak segala bentuk provokasi, Aceh bisa bangkit lebih kuat, sekaligus menjadi contoh bahwa negara hadir sepenuhnya untuk rakyat dalam situasi paling sulit sekalipun.
)* penulis merupakan Pengamat Kebijakan Publik
