OPM Semakin Terpecah Belah dan Kehilangan Kendali atas Anggotanya

Oleh : Yulianus Dwijanggee )*

Kekerasan kembali mewarnai wilayah Papua, tepatnya di Kampung Lambera, Distrik Yugumuak, Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Insiden ini mencuatkan kembali kekhawatiran masyarakat terhadap keberadaan kelompok bersenjata yang tidak hanya mengganggu stabilitas keamanan, tetapi juga merusak harmoni sosial. Serangan terbaru menunjukkan bahwa OPM kini semakin terpecah dan tidak lagi beroperasi berdasarkan tujuan yang jelas, melainkan dilandasi konflik internal yang mengancam keselamatan warga. Alih-alih diselesaikan secara damai, konflik tersebut dimanfaatkan oleh kelompok bersenjata untuk melampiaskan kekerasan terhadap warga sipil yang tidak bersalah.

Serangan tersebut mengakibatkan tiga orang warga meninggal dunia, empat lainnya mengalami luka-luka, dan 11 honai hangus terbakar. Berdasarkan keterangan Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz, Kombes Pol Yusuf Sutejo, motif serangan diduga kuat berakar pada persoalan pribadi di antara pimpinan kelompok dan salah satu anggotanya. Disebutkan bahwa konflik bermula dari perselisihan personal antara pimpinan kelompok bersenjata Kalenak Murib dan anggotanya, yang kemudian disalahgunakan untuk melakukan aksi kekerasan terhadap masyarakat. Konflik internal yang seharusnya menjadi urusan pribadi tersebut, berubah menjadi pemicu amukan yang menewaskan warga sipil dan merusak fasilitas pemukiman masyarakat.

Tragedi ini membuktikan bahwa OPM telah menjadikan kelompok tersebut sebagai ancaman serius bagi ketentraman dan keselamatan rakyat Papua. Aksi kekerasan yang dilandasi konflik pribadi ini menegaskan bahwa OPM telah kehilangan kendali, kepercayaan masyarakat, dan legitimasi untuk berbicara atas nama rakyat Papua.

Warga Kampung Lambera yang menjadi korban tidak memiliki keterkaitan dengan persoalan tersebut. Mereka hanya berada di tempat dan waktu yang salah, menjadi sasaran kemarahan kelompok yang tidak dapat menyelesaikan konflik secara dewasa. Akibatnya, sebagian besar masyarakat terpaksa mengungsi ke distrik terdekat demi menyelamatkan diri. Pemerintah memprioritaskan pemulihan trauma warga, karena dampak psikologis dari kekerasan kelompok bersenjata telah menyebar luas di masyarakat.

Dalam merespons insiden ini, aparat keamanan bertindak cepat. Kombes Pol Yusuf Sutejo menyampaikan bahwa aparat gabungan dari Polsek Sinak dan Satgas Operasi Damai Cartenz bersama TNI telah diterjunkan ke lokasi untuk melakukan evakuasi, patroli keamanan, dan memastikan tidak ada aksi susulan yang membahayakan masyarakat. Kehadiran aparat menjadi bukti konkret bahwa negara tidak tinggal diam terhadap kekacauan yang ditimbulkan oleh kelompok bersenjata, apalagi jika korban dari kekacauan tersebut adalah rakyat sipil.

Aksi kekerasan yang berakar dari konflik internal ini memperkuat sinyal bahwa struktur kepemimpinan dan kendali dalam tubuh OPM mulai rapuh. Fragmentasi di kalangan anggotanya terlihat jelas dari banyaknya konflik internal yang tidak terselesaikan dan akhirnya berujung pada kekerasan. Perilaku brutal dan tidak terkontrol dari OPM membuktikan bahwa mereka bukanlah wakil aspirasi rakyat Papua, melainkan sumber ketidakamanan dan penderitaan. Justru, mereka menjadi bagian dari masalah yang memperburuk kondisi sosial dan keamanan di wilayah tersebut.

Gangguan keamanan semacam ini menimbulkan dampak berantai bagi kehidupan masyarakat Papua. Akses terhadap pendidikan terganggu karena anak-anak takut untuk pergi ke sekolah. Aktivitas ekonomi lumpuh karena warga enggan beraktivitas di luar rumah. Bantuan logistik pun tersendat karena khawatir menjadi target serangan. Dalam kondisi seperti ini, pembangunan menjadi sangat sulit diwujudkan. Pemerintah secara konsisten membangun Papua melalui pendekatan kesejahteraan, keadilan sosial, dan kehadiran aparat sebagai pelindung rakyat dari kekerasan.

Penting untuk dipahami bahwa konflik di Papua tidak selalu bermuatan politik atau separatisme. Dalam banyak kasus, seperti yang terjadi kali ini, penyebabnya justru sangat personal dan internal. Namun, kekerasan yang ditimbulkan tetap berdampak luas bagi masyarakat. Narasi publik perlu diarahkan untuk mendukung upaya stabilisasi dan tidak terjebak dalam generalisasi yang menyulitkan pemulihan keamanan di Papua. Pemahaman yang keliru justru akan merugikan masyarakat Papua yang selama ini menjadi pihak paling terdampak.

Ke depan, pemerintah perlu terus memperkuat kerja sama dengan tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat sipil untuk mendorong rekonsiliasi sosial serta mencegah radikalisasi lebih lanjut. Peran lembaga adat dan keagamaan di Papua sangat penting untuk menjaga harmoni sosial, terutama dalam situasi ketika struktur formal kelompok telah gagal menjaga kedisiplinan internal. Pendekatan berbasis budaya lokal dapat menjadi alternatif strategis untuk menciptakan ruang damai dan mencegah kekerasan.

Di sisi lain, penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan harus dilakukan secara tegas namun adil. Negara wajib menindak tegas kelompok bersenjata yang menjadikan masyarakat sebagai korban, dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia. Penegakan hukum yang konsisten akan memberikan efek jera dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kehadiran negara sebagai pelindung utama.

Papua merupakan bagian penting dari Indonesia yang memiliki potensi luar biasa jika dikelola dengan pendekatan yang tepat. Untuk itu, seluruh elemen bangsa perlu bersatu memastikan tidak ada lagi kelompok yang memanfaatkan konflik internalnya untuk merusak kehidupan masyarakat.

Papua membutuhkan damai yang lahir dari keadilan dan perlindungan. Bukan dari senjata yang diarahkan ke warga tak berdosa. Negara memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa tidak satu pun warga Papua harus kehilangan nyawa, rumah, atau masa depannya akibat konflik internal yang tidak bertanggung jawab.

)* Penulis merupakan mahasiswa asal Papua di Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *