Oleh: Alexandro Dimitri )*
Peluncuran program Program Makan Bergizi Gratis (MBG) oleh pemerintahan saat ini menunjukkan betapa seriusnya komitmen pemerintah dalam membangun kualitas sumber daya manusia Indonesia. Melalui program yang digawangi oleh Badan Gizi Nasional (BGN) ini, pemerintah tidak hanya menargetkan pengentasan gizi buruk dan stunting, tetapi juga memperkuat ekonomi lokal melalui rantai pasok UMKM dan petani. Untuk memastikan manfaatnya semakin optimal, evaluasi rutin menjadi langkah penting yang terus diperkuat pemerintah.
Kepala BGN, Dadan Hindayana, mengungkap bahwa pelaksanaan MBG selama Ramadan berlangsung relatif lancar dan telah mencakup satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) di sejumlah daerah. Ia pun menegaskan bahwa kearifan lokal harus diakomodir dalam menu program, seperti makanan tradisional yang tahan lama dan bergizi agar tidak hanya bergizi, tetapi juga sesuai budaya dan logistik di lapangan. Pernyataan ini menegaskan bahwa BGN tidak sekadar menjalankan program, tetapi juga membuka ruang adaptasi agar MBG makin relevan dengan konteks lokal.
Disadari juga bahwa keberhasilan MBG tidak hanya soal penyediaan makanan saja, proses tata kelola, pelibatan daerah, dan kesiapan SPPG-nya menjadi fondasi. Melalui portal resmi BGN, disebutkan bahwa pengelolaan SPPG akan dilakukan dalam dua bentuk Kerjasama, yakni pembangunan langsung dan kolaborasi pihak ketiga, dengan target penerima manfaat mencapai 15 hingga 16,5 juta orang pada 2025. Ini menunjukkan skala ambisi pemerintah dan sekaligus menegaskan bahwa tanpa evaluasi sistematik, skala besar bisa menjadi tantangan.
Dari sisi keilmuan, MBG memiliki potensi besar untuk meningkatkan status gizi anak dan menurunkan angka anemia, bahkan sebagai salah satu pijakan menuju generasi bebas stunting. Namun, potensi ini hanya akan terwujud jika program dievaluasi secara terus-menerus dan berbasis data. Kebiasaan makan anak yang sudah terbiasa dengan makanan ultra-proses (UPF), hingga risiko food-waste karena menu ideal sering tidak dihabiskan oleh siswa. Beban kerja ahli gizi dalam program ini cukup besar sehingga regulasi baru yang membatasi porsi di SPPG hingga maksimal 2.000 porsi per hari adalah langkah perbaikan yang baik.
Melengkapi perspektif ini, Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM, Dr. dr. Citra Indriani, MPH, mengingatkan bahwa skala besar program MBG menuntut tata kelola yang kuat dan aman. Ia menyoroti bahwa pengelolaan makanan dalam skala SPPG setara dengan katering industri, sehingga kelemahan dalam proses mulai dari pemilihan bahan baku, pemasakan, penyimpanan, hingga distribusi bisa berdampak bagi ribuan anak sekolah. UGM melalui kajiannya memberikan masukan konstruktif untuk penyempurnaan HACCP dan prosedur keamanan pangan di beberapa SPPG.
Evaluasi tata kelola menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari manfaat program, karena bila pengelolaan tidak aman, manfaat yang seharusnya positif bisa menimbulkan risiko. Artinya, bagi pemerintah yang mendukung program ini, memperkuat monitoring, audit internal, dan kapasitas sekolah/SKP menjadi urgen. Berbagai data terkini juga menunjukkan bahwa pemerintah telah mulai melakukan survei dan pemantauan.
Misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Semarang melakukan Survei Monitoring dan Evaluasi MBG pada Juni 2025 untuk mengukur dampak program terhadap aspek kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan kemiskinan. Pangawasan juga dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memastikan pelaksanaan MBG berjalan sesuai rencana. Meskipun muncul beberapa kasus keracunan yang menjadi sorotan publik, pemerintah melalui BGN juga menyatakan komitmen untuk menarik makanan terkontaminasi dan memperbaiki prosedur pelayanan agar tidak terulang. Semua ini menunjukkan sinergi antara pemerintah, akademisi, dan lembaga pengawas dalam memperkuat program.
Evaluasi rutin bukanlah “opsi” tetapi syarat mutlak agar MBG berjalan optimal. Setiap tahap, mulai dari perencanaan, implementasi, pengawasan, hingga pengukuran dampak, harus dilakukan dengan disiplin. Pemerintah, melalui BGN, sudah menetapkan mekanisme pelaksanaan dan target besar, serta menyediakan platform pengaduan publik. Akademisi dan pengamat telah mengingatkan bahwa evaluasi harus mencakup kualitas makanan, keamanan pangan, distribusi, perilaku konsumsi, dan dampak jangka panjang terhadap indikator gizi dan pendidikan.
Bagi pemerintahan yang tengah menaruh harapan pada program MBG sebagai investasi strategis bagi SDM Indonesia, tiap halangan adalah bahan pembelajaran. Dengan menjaga momentum evaluasi rutin, memperkuat tata kelola, dan menjamin pelibatan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat, daerah, sekolah, hingga UMKM lokal, program ini berpeluang besar menghadirkan manfaat nyata, menjadikan generasi Indonesia sehat, cerdas, dan produktif.
Perlu ada dukungan penuh terhadap langkah evaluasi rutin serta perbaikan berkelanjutan dalam program MBG ini, sebagai bagian dari komitmen bersama membangun masa depan Indonesia yang lebih baik di bawah kepemimpinan pemerintah yang berpihak kepada rakyat.
)* Penulis merupakan Pengamat Ekonomi
