Oleh : Garvin Reviano )*
Gotong royong antara pemerintah dan masyarakat Aceh kembali menunjukkan kekuatannya sebagai fondasi utama dalam menghadapi dampak banjir yang kerap melanda sejumlah wilayah. Banjir bukan hanya persoalan alam, tetapi juga ujian solidaritas sosial dan kapasitas tata kelola. Dalam konteks ini, Aceh menampilkan wajah optimisme melalui kolaborasi yang semakin solid antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat, relawan, tokoh adat, dan warga. Sinergi tersebut memperlihatkan bahwa penanganan bencana tidak semata mengandalkan kebijakan, melainkan juga kekuatan sosial yang hidup dan berakar kuat dalam budaya gotong royong masyarakat Aceh.
Pemerintah menunjukkan respons yang semakin cepat dan terkoordinasi, mulai dari fase tanggap darurat hingga pemulihan. Penyaluran bantuan logistik, layanan kesehatan, pendirian posko pengungsian, serta pemulihan infrastruktur dasar dilakukan secara bertahap dan terukur. Kehadiran aparat dan tenaga teknis di lapangan memberi rasa aman sekaligus kepastian bahwa negara hadir untuk warganya. Upaya ini diperkuat dengan kebijakan lintas sektor yang menempatkan keselamatan dan kebutuhan warga sebagai prioritas, sekaligus memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam distribusi bantuan.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, Safrizal ZA, mengatakan pihaknya secara resmi melepas bantuan logistik Kemendagri yang dilaksanakan bekerja sama dengan Tim Penggerak PKK Pusat. Pelepasan bantuan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya percepatan penanganan bencana di wilayah terdampak di Provinsi Aceh. Bantuan logistik tersebut disiapkan untuk mendukung kebutuhan dasar masyarakat terdampak bencana, khususnya pada masa tanggap darurat dan awal pemulihan. Penyaluran bantuan difokuskan pada pemenuhan kebutuhan mendesak masyarakat di lokasi terdampak.
Di sisi lain, peran aktif masyarakat Aceh menjadi energi penggerak yang tak tergantikan. Warga bahu-membahu membersihkan rumah dan fasilitas umum, menyediakan dapur umum, serta membantu kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan penyandang disabilitas. Nilai-nilai kearifan lokal, seperti saling tolong-menolong dan kepedulian komunal, menjelma menjadi praktik nyata yang mempercepat pemulihan. Tokoh agama dan adat turut berperan menenangkan masyarakat, menguatkan solidaritas, dan mendorong sikap optimistis agar warga tetap tegar menghadapi ujian.
Kolaborasi pemerintah dan masyarakat juga tampak dalam penguatan mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Edukasi kebencanaan, pemetaan wilayah rawan, serta perbaikan sistem peringatan dini terus didorong agar risiko dapat ditekan. Partisipasi warga dalam program-program tersebut meningkatkan efektivitas kebijakan, karena solusi yang dirancang bersama cenderung lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Dengan melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan, pemerintah membangun rasa memiliki dan tanggung jawab bersama terhadap keselamatan lingkungan.
Pemulihan pascabanjir pun diarahkan tidak hanya untuk mengembalikan kondisi semula, tetapi juga membangun ketahanan jangka panjang. Perbaikan drainase, normalisasi sungai, rehabilitasi lahan, dan penataan permukiman dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial. Program pemulihan ekonomi lokal, termasuk dukungan bagi UMKM dan sektor pertanian, menjadi perhatian penting agar roda kehidupan warga kembali berputar. Langkah-langkah ini menunjukkan pendekatan yang holistik: menyembuhkan dampak sekaligus memperkuat fondasi agar Aceh lebih tangguh menghadapi bencana di masa depan.
Sementara itu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan permintaan beras sebesar 10 ribu ton yang diajukan Pemerintah Aceh telah terealisasi. Selain itu, bantuan senilai Rp75 miliar untuk tiga provinsi terdampak bencana, di mana dua pertiganya dialokasikan untuk Aceh, juga telah tiba dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kemudian pihaknya menyebutkan bahwa luas sawah di Aceh yang terdampak dan akan dibangun kembali mencapai sekitar 89 ribu hektare. Tim Kementerian Pertanian dijadwalkan turun ke lapangan pada Januari mendatang, dengan persiapan dimulai dalam dua pekan ke depan.
Kemudian Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem menyampaikan terima kasih atas perhatian dan bantuan yang diberikan pemerintah pusat, khususnya Kementerian Pertanian, kepada masyarakat Aceh. Pihaknya juga menyampaikan bahwa secara umum kondisi masyarakat sangat terbantu dengan dukungan logistik yang diberikan Kementerian Pertanian. Meski demikian, Mualem menyebutkan masih terdapat kebutuhan lanjutan, seperti obat-obatan, selimut, serta perlengkapan sekolah bagi siswa SD dan SMP.
Penguatan gotong royong ini pada akhirnya membangun kepercayaan publik. Ketika masyarakat melihat pemerintah bekerja bersama mereka, mendengar aspirasi, merespons kebutuhan, dan hadir secara konsisten, maka optimisme tumbuh. Kepercayaan tersebut menjadi modal sosial yang sangat berharga, bukan hanya untuk menghadapi banjir, tetapi juga untuk pembangunan Aceh secara berkelanjutan. Di tengah tantangan iklim dan dinamika lingkungan, Aceh menunjukkan bahwa kekuatan terbesar terletak pada persatuan dan kolaborasi.
Dengan semangat gotong royong yang terus diperkuat, Aceh menegaskan bahwa bencana bukan akhir dari segalanya, melainkan momentum untuk mempererat kebersamaan dan memperbaiki sistem. Pemerintah dan masyarakat berjalan seiring, saling menguatkan, dan berkomitmen membangun masa depan yang lebih aman dan sejahtera. Narasi positif ini bukan sekadar harapan, melainkan cermin dari praktik nyata di lapangan, bahwa ketika semua pihak bersatu, dampak banjir dapat diatasi dan ketangguhan Aceh semakin kokoh.
)* Pengamat Isu Sosial
