Oleh : Rahmat Hidayat )*
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, berada pada posisi strategis dalam kancah industri global, khususnya dalam transisi energi hijau. Dalam beberapa tahun terakhir, arah kebijakan pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen kuat untuk meningkatkan nilai tambah komoditas tambang melalui hilirisasi. Salah satu mitra penting dalam perjalanan strategis ini adalah China, yang terus memperkuat kolaborasi dengan Indonesia dalam proyek-proyek hilirisasi nikel. Kerja sama ini tidak hanya merefleksikan kepentingan ekonomi kedua negara, tetapi juga membuka jalan bagi pertumbuhan berkelanjutan, alih teknologi, dan penciptaan lapangan kerja di tanah air.
Langkah pemerintah untuk menghentikan ekspor bijih nikel mentah pada 2020 menjadi tonggak penting dalam upaya memperkuat sektor hilir industri pertambangan. Keputusan ini menjadi langkah berani yang terbukti berhasil menarik investasi strategis, terutama dari China. Perusahaan-perusahaan asal Tiongkok, seperti Tsingshan Group, CNGR Advanced Material, dan lainnya, telah menanamkan modal besar dalam pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian nikel di Indonesia, khususnya di kawasan industri Morowali dan Weda Bay.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengatakan China mempunyai komitmen dan kesetiaan untuk melakukan investasi hilirisasi nikel di Indonesia. Hal itu menjadi alasan pemerintah memilih China sebagai mitra dalam mengembangkan hilirisasi nikel di Tanah Air. Bahlil Lahadalia menyebut China sebagai mitra paling konsisten dalam mendukung agenda hilirisasi Indonesia.
Hilirisasi nikel bukan hanya soal peningkatan pendapatan negara dari sektor pertambangan, tetapi juga menyangkut transformasi ekonomi yang lebih luas. Melalui kolaborasi dengan China, Indonesia mendapatkan akses pada teknologi tinggi dalam pengolahan nikel, termasuk untuk produksi baterai kendaraan listrik (EV). Industri ini merupakan pilar penting dalam agenda global menuju dekarbonisasi dan netralitas karbon. Artinya, Indonesia tidak hanya menjadi pemain ekonomi, tetapi juga aktor penting dalam agenda perubahan iklim global. Kolaborasi ini secara strategis menempatkan Indonesia sebagai pusat manufaktur baterai dan ekosistem kendaraan listrik di Asia Tenggara, bahkan dunia.
Dari sisi tenaga kerja, proyek-proyek hilirisasi yang didukung oleh mitra China telah menciptakan ribuan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat lokal. Meskipun di beberapa titik ada tantangan dalam harmonisasi budaya kerja antara tenaga kerja lokal dan asing, Pemerintah terus mengatur ekosistem tenaga kerja agar terjadi sinergi optimal antara pekerja lokal dan asing, dengan fokus pada transfer teknologi.
Lebih jauh, kerja sama dengan China tidak hanya bersifat finansial atau teknis, tetapi juga menjadi jembatan diplomasi ekonomi yang kuat. China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia memahami potensi jangka panjang dari penguatan sektor hilirisasi. Dengan perencanaan yang matang, kedua negara bisa memperluas kerja sama ini ke sektor-sektor strategis lainnya seperti logistik, energi terbarukan, serta pembangunan infrastruktur pendukung kawasan industri.
Sementara itu, Ketua Indonesia Mining Association (IMA), Rachmat Makkasau mengatakan pentingnya pengembangan industri hilir agar nilai tambah dari komoditas tambang nasional khususnya nikel dapat dimaksimalkan. Langkah ini penting agar Indonesia tidak hanya menjadi penyedia bahan baku untuk negara lain. Namun, juga mampu menciptakan rantai nilai lengkap di dalam negeri. Hilirisasi hingga ke industri hilir dapat dimulai dari manufaktur komponen hingga produk teknologi akhir, seperti baterai EV atau panel surya.
Kemudian Indonesia memainkan peran aktif dalam mengarahkan investasi sesuai dengan kepentingan nasional. Melalui kebijakan berbasis hilirisasi dan peningkatan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri), pemerintah menuntut adanya kontribusi nyata terhadap pembangunan ekonomi nasional. Dalam jangka menengah hingga panjang, kerja sama ini diharapkan akan mempercepat transformasi Indonesia menjadi negara industri maju yang berdaya saing tinggi.
Tentu saja, ada tantangan yang harus terus diantisipasi, seperti isu lingkungan, keberlanjutan sumber daya, dan tata kelola pertambangan yang baik. Namun pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk memastikan bahwa proyek-proyek hilirisasi berjalan dalam koridor green industry dan prinsip ESG (environmental, social, governance). Upaya ini terlihat dari meningkatnya syarat analisis dampak lingkungan dan sertifikasi hijau bagi proyek-proyek skala besar.
Arah pembangunan Indonesia kini tidak lagi semata-mata bertumpu pada ekspor bahan mentah, melainkan pada penguatan kapasitas industri dalam negeri yang berorientasi pada nilai tambah. Kerja sama dengan China dalam hilirisasi nikel adalah wujud nyata dari visi tersebut. Dengan tetap menjaga kedaulatan sumber daya dan melakukan negosiasi yang berkeadilan, Indonesia membuktikan bahwa kolaborasi global bisa berjalan beriringan dengan kepentingan nasional.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan meningkatnya kebutuhan akan energi bersih, kerja sama strategis antara Indonesia dan China dalam hilirisasi nikel mencerminkan sinergi yang tidak hanya saling menguntungkan, tetapi juga menciptakan nilai jangka panjang. Ini adalah langkah maju dalam sejarah pembangunan Indonesia, dari eksportir bahan mentah menjadi pusat industri berteknologi tinggi dan berkelanjutan.
)* Penulis adalah pengamat Ekonomi