Oleh : Putroe Siron )*
Pemulihan pascabencana di Aceh kembali membuktikan bahwa kehadiran negara memiliki makna nyata bagi masyarakat yang terdampak krisis. Pada saat yang sama, momentum kebersamaan ini menuntut kewaspadaan kolektif agar tidak disusupi provokasi simbol separatisme yang berpotensi menggerus perdamaian yang telah dibangun dengan pengorbanan besar.
Banjir yang melanda sejumlah wilayah Aceh, khususnya Kabupaten Aceh Tamiang, meninggalkan dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan yang tidak ringan. Namun di tengah situasi sulit tersebut, masyarakat merasakan langsung kehadiran negara melalui kerja terpadu lintas sektor. Pemerintah pusat dan daerah, aparat keamanan, BUMN, serta dunia usaha bergerak bersama memastikan kebutuhan dasar warga terpenuhi. Bantuan kesehatan, logistik, pemulihan layanan publik, hingga dukungan konektivitas menjadi fondasi penting agar masyarakat dapat bertahan dan perlahan bangkit dari krisis.
Salah satu wujud kehadiran negara yang dirasakan langsung warga adalah pengoperasian posko kesehatan Polri di Aceh Tamiang. Sejak awal penanganan pascabencana, posko ini melayani masyarakat terdampak banjir dan personel yang bertugas di lapangan. Keluhan kesehatan yang paling banyak ditangani adalah gangguan pernapasan ringan dan penyakit kulit, kondisi yang lazim muncul akibat lingkungan lembap dan paparan air banjir dalam waktu lama. Petugas kesehatan memastikan pelayanan tetap berjalan optimal dengan ketersediaan obat-obatan dan fasilitas medis yang memadai, sekaligus mengedepankan langkah pencegahan seperti pembagian masker untuk menekan risiko infeksi saluran pernapasan.
Upaya pemulihan juga diperkuat oleh keterlibatan dunia usaha. Pertamina Foundation, misalnya, menunjukkan komitmen berkelanjutan dalam membantu warga terdampak melalui bantuan darurat hingga program pemulihan jangka menengah dan panjang. Bantuan tenda pengungsian, makanan siap saji, obat-obatan, hingga dukungan operasional rumah sakit menjadi bukti bahwa pemulihan tidak berhenti pada fase tanggap darurat. Program beasiswa, penguatan UMKM, dan pemberdayaan masyarakat dirancang untuk mendorong kemandirian warga agar tidak terjebak dalam kerentanan berkepanjangan.
Di sektor lain, pemulihan jaringan telekomunikasi yang digarap TelkomGroup turut menopang kehidupan sosial warga. Konektivitas yang kembali pulih memungkinkan masyarakat berkomunikasi, mengakses informasi, serta menjaga aktivitas ekonomi dan sosial di tengah keterbatasan. Kehadiran teknisi yang bekerja tanpa henti di lapangan mempertegas bahwa pemulihan bencana adalah kerja kolektif yang membutuhkan komitmen lintas aktor.
Apresiasi terhadap kerja bersama ini mencerminkan tumbuhnya kepercayaan publik. Bagi masyarakat Aceh, kehadiran negara dalam situasi krisis bukan hanya soal bantuan material, tetapi juga jaminan rasa aman dan kepastian bahwa mereka tidak ditinggalkan. Modal kepercayaan inilah yang sangat berharga, terutama bagi daerah yang memiliki sejarah konflik panjang dan proses perdamaian yang tidak mudah.
Namun, di tengah upaya pemulihan tersebut, muncul peristiwa pengibaran bendera bulan bintang yang identik dengan simbol Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Lhokseumawe. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa residu ideologi separatis masih berpotensi muncul, terutama ketika masyarakat berada dalam kondisi rentan. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan, menilai bahwa konsistensi menjaga perdamaian Aceh harus menjadi komitmen bersama semua pihak, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, aparat keamanan, hingga tokoh masyarakat. Perdamaian, dalam pandangannya, bukan capaian instan, melainkan hasil dari pengorbanan besar yang harus dijaga dengan penuh kehati-hatian.
Iwan berpandangan bahwa simbol GAM memiliki makna ideologis dan politis yang kuat, sehingga kemunculannya di ruang publik tidak dapat diperlakukan sebagai ekspresi biasa. Secara historis, simbol tersebut melekat pada gerakan separatis bersenjata yang pernah mengancam kedaulatan dan merenggut banyak korban. Oleh karena itu, normalisasi simbol semacam ini berisiko membuka kembali ruang bagi separatisme laten yang bertentangan dengan semangat perdamaian dan persatuan.
Langkah aparat TNI AD dari Korem 011/Lilawangsa yang membubarkan aksi tersebut patut dipandang sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas dan ketertiban umum. Tindakan yang dilakukan secara tegas namun terukur, tanpa kekerasan, menunjukkan bahwa negara hadir untuk menegakkan hukum sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat. Ketegasan semacam ini penting agar tidak muncul preseden yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok anti-perdamaian untuk menguji batas toleransi negara.
Dalam konteks kebencanaan, kewaspadaan terhadap provokasi separatisme menjadi semakin relevan. Situasi darurat kerap dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menyusupkan agenda politiknya, memanfaatkan ketidakpastian dan emosi masyarakat. Jika dibiarkan, provokasi simbolik semacam ini dapat mengalihkan fokus publik dari agenda pemulihan dan memicu ketegangan sosial yang justru merugikan warga terdampak.
Karena itu, pemulihan Aceh pascabencana tidak boleh hanya dimaknai sebagai pembangunan fisik dan pemenuhan kebutuhan dasar. Lebih dari itu, pemulihan harus berjalan seiring dengan upaya menjaga kohesi sosial, memperkuat persatuan, dan menolak segala bentuk provokasi yang mengarah pada perpecahan. Masyarakat perlu semakin kritis dan waspada agar tidak terjebak pada narasi yang bertentangan dengan kepentingan bersama.
Pengalaman bencana ini seharusnya menjadi momentum memperkuat solidaritas dan komitmen kebangsaan. Kehadiran negara yang dirasakan nyata oleh warga harus dijaga dengan kepercayaan dan partisipasi aktif masyarakat dalam merawat perdamaian. Dengan demikian, Aceh tidak hanya bangkit dari bencana secara fisik, tetapi juga semakin kokoh sebagai wilayah yang damai, bersatu, dan berorientasi pada masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan.
)* Pengamat sosial politik
