RUU Sisdiknas Tingkatkan Mutu dan Akses Pendidikan bagi Semua Warga

Oleh : Nadifa Yolanda )*

Upaya memperbaiki kualitas dan pemerataan pendidikan di Indonesia tengah memasuki babak penting melalui pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Langkah ini bukan hanya merupakan bagian dari agenda legislatif nasional, tetapi juga sebagai implementasi agenda prioritas pemerintah dunia pendidikan yang semakin kompleks. Dalam situasi di mana tantangan global, perkembangan teknologi, serta tuntutan inklusivitas terus meningkat, RUU Sisdiknas menjadi landasan strategis untuk menciptakan sistem pendidikan yang adaptif, berkeadilan, dan terintegrasi.

Salah satu fokus utama dari revisi ini adalah menghapus tumpang tindih regulasi yang selama ini kerap menghambat efektivitas kebijakan pendidikan. Selama lebih dari dua dekade, sistem pendidikan nasional berjalan dengan berbagai aturan yang terpisah dan tidak sepenuhnya harmonis. Situasi ini menciptakan kebingungan regulatif dan berdampak langsung terhadap dunia pendidikan, baik dalam hal pengelolaan kelembagaan, kurikulum, maupun pengakuan terhadap tenaga pendidik.

Anggota Komisi X DPR RI, Dewi Coryati, secara tegas menyampaikan bahwa revisi menyeluruh terhadap UU Sisdiknas harus dilakukan seiring dengan harmonisasi undang-undang pendidikan lainnya, seperti UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, serta UU Pesantren. Pendekatan kodifikasi yang direncanakan dalam proses revisi memungkinkan penyatuan berbagai ketentuan tersebut ke dalam satu kerangka hukum yang sistematis, memudahkan masyarakat dalam memahami hak dan kewajiban mereka dalam sektor pendidikan.

Lebih dari sekadar reformasi kebijakan, RUU Sisdiknas juga hadir sebagai instrumen keadilan sosial dalam pendidikan. Perhatian yang diberikan terhadap tenaga pendidik non-formal, seperti guru PAUD dari jalur komunitas, menjadi bukti konkret bahwa revisi ini dapat memperluas jangkauan perhatian negara. Pengakuan terhadap kontribusi para pendidik dari jalur non-formal sebagai bagian integral dari ekosistem pendidikan nasional menjadi tonggak penting untuk menciptakan sistem yang inklusif.

Isu inklusivitas juga menjadi salah satu dimensi utama yang diperjuangkan dalam RUU ini. Pendidikan bukanlah hak eksklusif kelompok tertentu, melainkan hak dasar seluruh warga negara tanpa terkecuali. Maka dari itu, Komisi X DPR RI mendorong agar revisi UU Sisdiknas tidak hanya fokus pada aspek struktural dan administratif, tetapi juga pada dimensi pemerataan akses pendidikan hingga ke wilayah terpencil dan kelompok marjinal.

Perhatian terhadap rekonstruksi pembiayaan pendidikan pun menjadi topik yang tak kalah krusial. Anggota Komisi X DPR RI, Sabam Sinaga, menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembebasan biaya pendidikan di sekolah swasta sebagai momentum penting untuk mereformulasi skema pendanaan pendidikan. Keputusan MK tersebut membuka ruang diskusi luas tentang bagaimana negara seharusnya hadir secara adil dalam menjamin biaya pendidikan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat.

Sabam juga mengangkat persoalan distribusi anggaran pendidikan yang tidak merata. Meskipun secara nominal sektor pendidikan menerima 20 persen alokasi dari APBN, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar dana tersebut tersebar di luar kementerian teknis, sehingga tidak langsung berdampak pada peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi. Ketimpangan ini bahkan terlihat mencolok di level pendidikan tinggi, di mana dana yang digelontorkan untuk mahasiswa di kementerian non-pendidikan bisa 13 kali lipat lebih besar dibanding mahasiswa di PTN atau PTS.

Situasi ini menjadi pengingat penting bahwa penyusunan RUU Sisdiknas harus dilakukan secara komprehensif, menyentuh aspek struktural hingga teknis, termasuk reformasi sistem anggaran pendidikan yang berpihak pada peningkatan kualitas dan keadilan akses. Pertanyaan yang dilontarkan Sabam Sinaga mengenai urgensi keberadaan lembaga pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh kementerian non-pendidikan juga patut menjadi perhatian dalam proses revisi. Rasionalisasi terhadap institusi pendidikan yang tumpang tindih dengan fungsi lembaga lain akan mendorong efisiensi anggaran serta konsistensi kebijakan pendidikan.

Selain itu, pendidikan karakter, teknologi digital, dan penyesuaian kurikulum juga harus mendapat porsi penting dalam rancangan undang-undang ini. Era disrupsi digital menuntut pendidikan yang mampu mencetak generasi adaptif, kreatif, dan mampu berpikir kritis. Oleh karena itu, penyusunan RUU Sisdiknas juga harus berorientasi ke depan, tidak hanya memperbaiki apa yang sudah ada, tetapi juga mengantisipasi kebutuhan masa depan.

Kunjungan kerja Panitia Kerja (Panja) RUU Sisdiknas ke berbagai daerah, seperti Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) Yogyakarta, Kalimantan Timur, dan Jambi, mencerminkan semangat partisipatif dalam proses legislasi. Komisi X DPR RI ingin memastikan bahwa aspirasi dari berbagai wilayah di Indonesia, termasuk masukan dari pemangku kepentingan lokal, menjadi bagian dari rumusan akhir undang-undang. Dengan demikian, produk hukum yang dihasilkan benar-benar merepresentasikan kebutuhan nasional secara utuh.

RUU Sisdiknas tidak semata-mata tentang pendidikan, tetapi juga tentang masa depan bangsa. Melalui rancangan ini, DPR RI hendak memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas. Sistem pendidikan nasional yang dihasilkan dari proses revisi ini diharapkan mampu menciptakan generasi unggul yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara karakter dan siap berkontribusi dalam membangun negeri.

)* Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *