Oleh: Cut Mala Fauziah
Pemulihan Aceh pascabencana kian menegaskan bahwa kehadiran negara bukan sekadar retorika, melainkan kerja nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat di lapangan. Pada saat yang sama, situasi krisis seperti bencana justru menuntut kewaspadaan bersama agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menghidupkan kembali simbol dan narasi separatisme yang berpotensi mengganggu perdamaian.
Dalam beberapa bulan terakhir, banjir bandang dan longsor telah menjadi ujian berat bagi warga Aceh. Ribuan orang terdampak, aktivitas ekonomi terganggu, dan infrastruktur vital sempat lumpuh. Namun, respons pemerintah yang cepat dan terkoordinasi menghadirkan secercah harapan. Bantuan logistik, pemulihan akses jalan, penyediaan hunian sementara, serta penguatan layanan kesehatan menjadi bukti konkret kehadiran negara. Bagi warga, bantuan tersebut tidak hanya menjawab kebutuhan dasar, tetapi juga memulihkan rasa aman dan kepercayaan bahwa mereka tidak dibiarkan menghadapi musibah sendirian.
Kepercayaan publik ini merupakan modal sosial yang sangat penting bagi Aceh. Daerah yang memiliki sejarah konflik panjang tentu membutuhkan stabilitas sosial sebagai fondasi pembangunan. Karena itu, setiap langkah rehabilitasi pascabencana sejatinya tidak hanya menyentuh aspek fisik dan ekonomi, tetapi juga harus menjaga suasana damai yang telah dibangun melalui proses panjang pascakonflik. Pemulihan bencana dan pemeliharaan perdamaian adalah dua agenda yang tidak bisa dipisahkan.
Di tengah upaya pemulihan tersebut, munculnya kembali simbol Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di ruang publik patut menjadi perhatian serius. Guru Besar Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, memandang bahwa simbol tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah kekerasan dan konflik bersenjata. Dalam perspektif hukum dan politik, pengibaran simbol GAM dinilai melanggar ketentuan yang berlaku sekaligus mencederai komitmen perdamaian yang telah disepakati bersama.
Pandangan ini penting untuk digarisbawahi. Perdamaian Aceh bukanlah hasil yang datang secara instan, melainkan buah dari konsensus besar yang mengakhiri konflik puluhan tahun. Menghidupkan kembali simbol konflik lama berisiko membuka luka sosial yang belum sepenuhnya sembuh. Ketegangan horizontal dapat muncul kembali jika masyarakat terjebak pada romantisme masa lalu yang sejatinya membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat.
Lebih jauh, Trubus menekankan bahwa menjaga perdamaian Aceh bukan hanya tugas negara, tetapi juga tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Kedewasaan sosial menjadi kunci agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh simbol, narasi, atau tindakan yang berpotensi memecah belah. Kesadaran kolektif ini semakin penting ketika Aceh sedang berada dalam fase pemulihan bencana, di mana kondisi psikologis dan ekonomi warga masih rentan.
Situasi kedaruratan kerap dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menyusupkan agenda politiknya. Dalam konteks Aceh, ada kekhawatiran bahwa bencana dijadikan momentum untuk membangkitkan kembali sentimen separatis melalui provokasi simbolik. Jika dibiarkan, hal ini tidak hanya mengganggu ketertiban umum, tetapi juga merusak fokus utama masyarakat yang seharusnya tertuju pada pemulihan kehidupan sosial dan ekonomi.
Langkah aparat keamanan dalam menangani aksi pengibaran simbol GAM di Lhokseumawe menunjukkan pentingnya kehadiran negara dalam menjaga keseimbangan antara ketegasan hukum dan pendekatan persuasif. Pembubaran aksi yang dilakukan tanpa kekerasan, disertai dialog dan penegakan hukum yang terukur, memberikan pesan bahwa negara tidak mentoleransi pelanggaran, tetapi tetap mengedepankan stabilitas dan kepercayaan publik. Pendekatan semacam ini krusial agar penegakan hukum tidak memicu eskalasi baru di tengah masyarakat.
Di sisi lain, kerja kolaboratif lintas sektor dalam penanganan bencana memperlihatkan wajah solidaritas nasional. Pemerintah pusat dan daerah, aparat keamanan, organisasi keagamaan, dunia usaha, serta BUMN bergerak bersama dalam semangat gotong royong. Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono memandang kolaborasi ini sebagai cerminan jati diri bangsa sekaligus kunci percepatan pemulihan. Kehadiran negara, dalam pandangan ini, tidak berhenti pada respons darurat, tetapi berlanjut pada pendampingan berkelanjutan agar masyarakat benar-benar pulih dan mandiri.
Apresiasi dari kepala daerah, tokoh masyarakat, hingga organisasi keagamaan menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintah terus menguat. Bantuan yang terukur dan berkelanjutan, keterlibatan dunia usaha dalam distribusi logistik dan penyediaan lahan hunian sementara, serta perhatian terhadap layanan kesehatan dan fasilitas umum memperlihatkan bahwa pemulihan dirancang secara sistematis. Semua ini menjadi fondasi penting bagi stabilitas sosial di Aceh pascabencana.
Ke depan, tantangan terbesar adalah menjaga agar proses pemulihan ini tidak tercemar oleh provokasi yang berpotensi memecah belah. Masyarakat perlu semakin waspada terhadap simbol dan narasi yang mengarah pada separatisme, terlebih ketika dibungkus dengan dalih kebebasan berekspresi atau identitas. Pemulihan Aceh membutuhkan suasana kondusif, persatuan, dan kepercayaan antarelemen masyarakat.
Pengalaman bencana ini seharusnya menjadi momentum memperkuat solidaritas dan komitmen kebangsaan. Keberhasilan negara membantu warga bangkit dari musibah harus diiringi kesadaran kolektif untuk menjaga perdamaian dan menolak segala bentuk provokasi. Dengan demikian, Aceh tidak hanya pulih dari bencana secara fisik, tetapi juga semakin kokoh secara sosial dan politik, melangkah maju sebagai bagian utuh dari Indonesia yang damai dan berdaulat.
)*Pengamat Politik Daerah – Lembaga Politik Nusantara (LPN)
