Jakarta — Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatatkan pencapaian signifikan dalam pemberantasan praktik judi daring. Hingga pertengahan tahun ini, sebanyak 2 juta konten yang terkait dengan aktivitas judi daring telah berhasil diblokir dari ruang digital nasional. Langkah tegas ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat dan aman bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama anak-anak dan remaja yang rentan menjadi sasaran industri ilegal tersebut.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyampaikan bahwa keberhasilan tersebut bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari strategi yang lebih menyeluruh.
“Strategi utama bukan hanya pada take down, meskipun Komdigi akan terus melakukan pengawasan dan penindakan di ranah digital,” ujar Meutya.
Ia menegaskan bahwa pemblokiran situs hanyalah satu bagian dari upaya yang harus dilengkapi dengan edukasi dan penurunan permintaan dari masyarakat terhadap judi daring. Menurutnya, pemberantasan akan lebih efektif jika masyarakat juga aktif menolak dan menjauhi praktik ini.
Meutya menekankan bahwa judi daring saat ini telah berkembang menjadi sebuah industri tersendiri yang mengandalkan konsumen sebagai penggeraknya. Oleh karena itu, upaya pencegahan juga harus dimulai dari masyarakat sendiri.
“Ini industri. Kalau peminatnya atau konsumennya terus ada, maka di situ akan terus ada ruang bagi mereka berkembang. Jadi harus kitanya juga yang melawan,” tegasnya.
Ia menyoroti fakta bahwa semakin banyak anak di bawah usia 18 tahun yang terlibat dalam aktivitas judi daring, baik sebagai pemain maupun korban eksploitasi digital.
Sebagai bentuk perlindungan terhadap generasi muda, pemerintah saat ini tengah mendorong penerapan kebijakan strategis seperti Peraturan Menteri SAMAN (Sistem Kepatuhan Moderasi Konten) dan Peraturan Pemerintah TUNAS yang menitikberatkan pada perlindungan anak di ruang digital, pungkasnya.
Meutya menjelaskan bahwa langkah konkret seperti pembatasan usia akses media sosial untuk anak-anak di bawah 18 tahun merupakan upaya sistemik yang diharapkan mampu menekan jumlah pengguna judi daring secara signifikan.
“Dengan aturan membatasi atau menunda usia akses anak-anak di bawah 18 tahun ke media sosial, kita harapkan ini bisa mengurangi secara signifikan judi daring yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Di sisi lain, pendekatan yang lebih manusiawi juga tengah digalakkan oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital. Direktur Jenderal Alexander Sabar menegaskan pentingnya melihat pelaku judi daring, terutama kalangan muda, sebagai korban yang membutuhkan bimbingan dan rehabilitasi.
“Pemain judi daring sebaiknya dipandang sebagai korban yang perlu mendapatkan bantuan untuk keluar dari kecanduan, bukan sebagai pelaku kejahatan,” kata Alexander.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak hanya fokus pada pemutusan akses teknis, tetapi juga pada penanganan sosial dan psikologis.
Lebih lanjut, Alexander menjelaskan bahwa pemerintah terus mengintensifkan edukasi dan literasi digital melalui kolaborasi dengan pemerintah daerah, sekolah, dan organisasi masyarakat. Program-program penyuluhan ini dirancang untuk memperluas pemahaman masyarakat mengenai risiko dan dampak dari judi daring. Edukasi menjadi kunci utama dalam membentuk kesadaran kolektif agar masyarakat tidak terjebak dalam praktik ilegal yang merusak masa depan, terutama generasi muda.
Keberhasilan pemerintah dalam men-takedown jutaan konten judi daring merupakan langkah progresif menuju ruang digital yang lebih aman dan beradab. Namun, kerja besar ini membutuhkan keterlibatan semua pihak: masyarakat, tokoh agama, lembaga pendidikan, serta sektor swasta. Sinergi nasional ini menjadi fondasi penting untuk memastikan bahwa internet di Indonesia tidak menjadi ladang subur bagi kejahatan digital, tetapi menjadi ruang yang mendidik, produktif, dan melindungi semua warga negara.